Jumat, 27 Januari 2012

TANGGUNG JAWAB BERSAMA MENJAGA KEUTUHAN CIPTAAN


Pengantar
Cuaca Ekstreem yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini merupakan sebuah gejala Alam yang berkaitan dengan isu Pemanasan Global (Global Warming) yang sedang terjadi pada bumi kita dan dan berbagai peristiwa Bencana yang terjadi di setiap Negara/daerah merupakan dampak yang bisa kita rasakan secara langsung dari adanya Global Warming tersebut. Dalam menyikapi hal-hal tersebut maka mulailah gencar di adakan seminar-seminar mengenai pentingnya menjaga lingkungan hidup sebagai langkah konkrit dari upaya menjaga keutuhan ciptaan.
Di Maluku khususnya, keutuhan ciptaan menjadi topic hangat setelah terjadinya beberapa bencana yang terjadi seperti Tsunami di Aceh dan Nias. Sepertinya telah menjadi kebiasaan kita di Indonesia bahwa nanti saat telah terjadi bencana, barulah ramai-ramai berbicara tentang menjaga lingkungan hidupnya. Mulai dari konflik yang terjadi tidak hanya berdampak pada kerusakan bangunan dan korban jiwa tetapi juga berdampak pada kerusakan lingkungan yang cukup Fatal dilanjutkan lagi Proses pembangunan kembali yang terjadi di Maluku pasca Konflik (kerusuhan). Khusus tentang dampak pembangunan terhadap kerusakan lingkungan di Maluku, terdapat daftar panjang kasus-kasus perusakan lingkungan yang terjadi. Salah satu contohnya adalah Proyek pembangunan perumahan yang mengabaikan AMDAL sehingga terjadi pencemaran Lumpur pada Hutan Bakau yang terletak tidak jauh dari lokasi pembangunan, kasus penebangan hutan liar (Ilegalloging) di daerah Seram Maluku Tengah dan banyak kasus perusakkan lingkungan lainnya.
Dalam tulisan ini penulis hendak mengantar kita kedalam sebuah pemahaman tentang tanggung jawab kita untuk menjaga Keutuhan Ciptaan. Dengan mengambil konteks pada situasi di Maluku semoga saja bermanfaat untuk menumbuhkan kesadaran kita akan pentingnya menjaga dan melestarikan Keutuhan Ciptaan.

Apa Itu Keutuhan Ciptaan?
Untuk menggambarkan tentang Keutuhan Ciptaan, dapat di gambarkan dengan sebuah gelang rantai yang dimana masing-masing mata rantai memiliki nilai dan fungsi yang sama sehingga saling kait-mengkait dan menjadi satu gelang rantai, jika satu mata rantai rusak dan terlepas maka tidak ada lagi keutuhan, dan akibatnya tidak bisa lagi disebut dengang gelang rantai karena terputus. Allah sang khalik (pencipta) menciptakan kita agar mahkluknya dan saling miliki hubungan ketergangungan dan itulah Keutuhan sebagai CiptaanNya nampak.
Melestarikan keutuhan ciptaan merupakan bagian dari proyek Kerajaan Allah, yang telah dimulai oleh Allah sejak dunia diciptakan. Kita manusia dipanggil untuk ikut serta melestarikan keutuhan ciptaan tersebut. Proyek itu dapat dimulai dari diri kita masing-masing dengan melakukan perkara-perkara kecil yang bermakna besar : mencintai bumi dan langit, menghargai tanah dan air dan segala makhluk yang hidup di dalamnya.
Tiga Point Penting yang perlu di Interpretasikan dan di Refleksikan (Program, Teologi, Iman)
Bukan hal yang mudah untuk mengembalikkan Lingkungan yang rusak itu untuk kembali pulih, membutuhkan proses dan waktu yang lama. Untuk itu perlu tindakan yang cepat dan tepat dalam pelaksanaan program rehabilitasi lingkungan. Perlu perhatian yang serius dari Pihak Lembaga keagamaan dan pemerintah secara baik. Tentunya tidak hanya bersifat teoritis dalam seminar, lokakarya, khotbah/ceramah semata. Tetapi perlu juga tindakan aktif dan partisipatif dari dua belah pihak. Menurut saya sangat perlu interpretasi yang baik terhadap tiga point yaitu :
1. Interpretasi Terhadap Program (Interpretasi Program); Artinya setiap program perencanaan untuk penanggulangan masalah lingkungan tersebut harus di artikan secara baik agar di pahami sehingga dalam pelaksanaan program dapat dilakukan secara konsisten. Dengan interpretasi Program yang baik dan jelas oleh pemerintah maka masyarakat akan semakin paham terhadap program yang sementari di jalankan khusunya dalam upaya penanggulangan kerusakan lingkungan
2. Interpretasi Terhadap Teologi (Interpretasi Teologi ); Teologi yang dirancangkan sehubungan dengan keutuhan ciptaan juga perlu di artikan secara baik tidak hanya dalam khotbah tetapi teologi di interpretasikan dalam sikap hidup yang sadar akan lingkungan tempat teologi itu tumbuh dan berkembang. Praktisnya berteologi untuk keutuhan ciptaan.
3. Interpretasi Terhadap Iman (Intepretasi Iman); Iman yang kita miliki juga harus perlu interpretasi juga secara baik. Tujuannya adalah agar kita sadar akan apa yang kita Imani. Kita meng-Imani tentang pentingnya sebuah kehidupan bersama sebagai keutuhan ciptaan Sang Khalik. Iman harus di interpretasikan sebagai sesuatu yang terus berproses dan berlanjut karena “Iman kita seharusnya tidak pernah Amin”. Pendeknya, ketika kita mengimani bahwa kehidupan kita bersama sebagai ciptaan di bumi ciptaanNya masing adalah mata rantai yang saling kait-mengait dan menjadi gelang rantai yang utuh sebagai sebuah Keutuhan Ciptaan, maka kita bertanggung jawab menjaga keutuhan ciptaan itu.

Tujuan dari interpretasi Program, Teologi, dan iman adalah sebagai langkah awal dari refleksi terhadap tiga poin tersebut .
1. Refleksi Program : setelah kita menginterpretasikan program pembangunan, maka perlu di refleksikan kembali program tersebut, ketika kita merefleksikan kembali program-program pembangunan maka diharapkan dapat melihat efek dari proyek pembangunan yang dilakukan, yaitu dampak pada kerusakan lingkungan sekitar proyek pembangunan
2. Refleksi Teologi. Setiap proses kehidupan yang kita jalani adalah aktualisasi dari teologi kita sesederhana apapun. refleksi yang baik terhadap teologi kita/pemahaman kita tentang pentingnya melestarikan Keutuhan Ciptaan, terlihat dari sikap hidup kita. Setiap masyarakat memiliki Kearifan Lokal yang menekankan pada pemeliharaan Lingkungan hidup, Kearifan Lokal itulah yang merupakan hasil refleksi teologis yang secara sederhana telah diaktualisasikan dalam kehidupan orang-orang tua kita yang mewariskannya untuk di lanjutkan. Landasan yang dipakai oleh mereka tentunya adalah Alkitab (kitab suci)
3. Refleksi Iman. Kita mengimani bahwa Allah adalah yang menciptakan Bumi dan isinya. Dan kemudian dengan iman itu kita melaksanakan tugas dan tanggung jawab menjaga keutuhan ciptaan.

PERANAN TIGA ELEMEN PENTING (PEMERINTAH, GEREJA, SEKOLAH) DALAM UPAYA MELESTARIKAN KEUTUHAN CIPTAAN.
Ketiga elemen masyarakat yaitu Pemerintah, Gereja, dan Sekolah, memiliki peran penting dalam melestarikan Keutuhan ciptaan ketiga elemen ini dapat bekerjasama dalam menumbuhkan kesadaran pada masyarakat tentang pentingnya melestarikan keutuhan ciptaan. Ketiga elemen dalam masyatakat ini masing-masing memiliki tugas dan fungsi yang saling mendukung untuk menjalankan misi melestarikan keutuhan ciptaan itu.
Pemerintah : memiliki fungsi control dalam setiap proyek pembangunan yang dilakukan karena proyek pembangunan yang dilakukan tentunya mendapatkan legitimasi dari pihak pemerintah. Tidak hanya dalam proses pembangunan. Tetapi tindakan perusakkan lingkungan yang terjadi juga menjadi tugas pemerintah untuk memproses lewat hukum yang ada. Secara konkrit di Maluku telah di canangkan program “One Man One Tree” hal ini merupakan bukti perhatian pemerintah terhadap persoalan lingkungan.
Gereja : sebagai lembaga keagamaan yang menjalankan fungsi pembinaan bagi umat untuk menumbuhkan kesadaran melestarikan keutuhan ciptaan. Tindakan praktis gereja tidak hanya lewat khotbah ataupun ceramah tetapi dilakukan lewat tindakan nyata gereja dalam menjaga kelestarian keutuhan ciptaan. Konkretnya, apa yang dapat gereja lakukan untuk mewujudkan Keutuhan Ciptaan?
Selama ini gereja hanya berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan kebaktian atau kegiatan lain yang melayani manusia. Sudah saatnya gereja menyadari bahwa gereja memiliki tugas panggilan menjaga keutuhan ciptaan atau kelestarian lingkungan hidup, misalnya dengan membuat program-program sebagai berikut:
a. Pembinaan tentang kesadaran ekologis. Pembinaan ini merupakan upaya gereja untuk mengingatkan anggotanya bahwa alam adalah ciptaan Allah yang harus dihargai dengan memelihara dan melestarikannya. Misalnya dalam PA atau pembinaan khusus dan tema-tema kebaktian.
b. Perayaan lingkungan hidup dalam liturgi. Misalnya membuat ibadah khusus untuk merayakan hari lingkungan hidup. Dalam ibadah, ada baiknya kita melakukan penyesalan dosa terhadap alam semesta karena ulah manusia yang telah merusak alam. Penting juga untuk menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu rohani yang bertemakan alam.
c. Menyuarakan suara kenabian terhadap kerusakan lingkungan hidup.
Gereja perlu menyuarakan kritik atau memberikan masukan-masukan bagi masyarakat ataupun pemerintah terkait dengan upaya melestarikan lingkungan hidup.
d. Menata lingkungan gereja dengan memperhatikan keseimbangan ekologis. Misalnya jangan habiskan tanah untuk mendirikan bangunan tapi berikan ruang untuk tanam-tanaman. Kita bisa membangun lingkungan gereja yang hijau dan asri.
e. Gerakan penanaman pohon bagi seluruh warga gereja : Hal ini dapat dilakukan oleh GPM yaitu misalnya setiap anak yang akan di baptis/di sidi harus menanamkan sebuah pohon selain sebagai simbol pertumbuhan tetapi juga menunjang perogram penghijauan oleh pemerintah.
f. Mengajak anggota jemaat membudayakan gaya hidup yang ramah dan dekat dengan alam, misalnya dengan memisahkan sampah plastik, membuat lingkungan sekitar rumah menjadi hijau dengan tanam-tanaman.
g. Membangun kerjasama dengan lembaga atau kelompok pecinta alam, misalnya GPM dengan kelompok pecinta alam di Maluku, untuk memperjuangkan pembangunan yang berwawasan ekologis.
Sekolah : Sebagai lembaga pendidikan dalam setiap kurikulum pembelajrannya juga memiliki fungsi yang sama yaitu mendidik siswanya dengan pola pendidikan yang berbasis pada kesadaran akan keutuhan lingkungan. Hal ini dapat di aktualisasikan lewat kurikulum-kurikulum yang di terapkan di sekolah. Sekolah sebagai salah satu ruang pendidikan dan pembelajaran, tentu untuk melakukan upaya sadar dan penyadaran menjadi manusia seutuhnya, yang berakhlak mulia/beradab dan berbudaya, manusia yang berarti/berguna atau bermakna. Proses penyadaran tersebut memerlukan prakondisi lingkungan yang kondusif bagi kesehatan baik secara lahiriah maupun batiniah.
Secara lahiriah berarti adanya sanitasi lingkungan yaitu usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan pada penguasaan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan. Sarana sanitasi antara lain ; ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarangan pembuangan, sarana pembuangan kotoran manusia dan penyediaan air bersih. Dan secara batiniah dapat diukur dengan aspek perilaku peduli lingkungan sehingga diperoleh suasana kenyamanan dalam melakukan proses pendidikan dan pembelajaran.

Derajat kesehatan berkaitan erat dengan hubungan timbal balik antara pembangunan ekologi, sosial dan ekonomi. Untuk itu perlu dikembangkan parameter, metode analisis dan sistem monitoring dampak kesekatan akibat pencemaran air. Penyediaan air bersih, sarana dan sarangan pembuangan air limbah merupakan sarana prasarana penting yang memerlukan standar kesehatan untuk menghindari pencemaran, penyakit dan bahan beracun/berbahaya.
Oleh karena itu, sanitasi di lingkungan sekolah perlu dipantau dan dikendalikan sedemikian rupa sesuai dengan manajemen pengelolaan yang memadai yaitu dengan teknologi pengelolaan air limbah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dan untuk melakukan pemantauan atau pengendalian dampak kegiatan, produk dan jasa aspek-aspek lingkungan dalam penerapan manajemen lingkungan hidup di sekolah, maka paling tidak ada 2 (dua) sistem manajemen lingkungan hidup yang perlu diperhatikan dengan seksama yaitu manajemen strategi pengelolaan lingkungan hidup dan manajemen personalianya.
Hal diatas merupakan standar bagi sekolah yang ingin menaikkan tarafnya sebagai sekolah bertaraf internasional. Dan standarisasi tersebut berguna untuk menunjang program pemerintah dalam upaya menjaga keutuhan ciptaan yang menjadi perhatian dunia saat ini.

Kesimpulan
Dalam kehidupan bersama sebagai ciptaan terdapat tanggung jawab untuk menjaga keutuhan ciptaan. Harus diakui bahwa telah terjadi dekadensi moral dan pemikiran atau cara pendang terhadap lingkungan. Hal yang nyata dalam kehidupan sehubungan dengan dekadensi tersebut adalah kasus pencemaran lingkungan, penebangan liar dan barbagai contoh kasus lainnya. Dan dampak dari tindakan yang tidak bertanggung jawab para pencemar lingkungan. Seharusnya kita tidak perlu terkejut bahkan jadi Paranoid (ketakutan) dengan isu Global Warming yang terjadi. Karena hal tersebut merupakan dampak dari ulah manusia sendiri yang tidak bertanggung jawab atas bumi tempat dia tinggal. Pada mulanya Allah Menciptakan bumi dengan segala isinya dengan fungsi saling melengkapi dan menopang. Hal ini tergambar dalam Kejadian 2: 21-23; berbicara tentang keutuhan ciptaan tidak terbatas pada manusia semata tetapi mencakup semua ciptaan yang ada. Dan dalam keutuhan ciptaan itu tercipta suatu hubungan saling menopang didalamnya. Gereja sebagai lembaga keagamaan juga memiliki tugas dan tanggung jawab bersama elemen-elemen masyarakat yang lain dalam menjaga lingkungan hidup. Dan penting bagi gereja untuk dapat bekerjasama secara aktif dengan elemen-elemen dalam masyarakat tersebut (sekolah, pemerintah). Dengan pemahaman yang benar terhadap pentingnya keutuhan ciptaan maka proses pemulihan bagi bumi ini akan dapat dilaksanakan dan semoga saja belum terlambat bagi kita untuk memperbaikinya.

Spiritual Yang Tandus Dalam Diri Seorang Pendeta

Sejak kecil saya sangat membanggakan figur seorang pendeta. Saya selalu terkesan saat melihat Sang Pendeta berdiri di atas Mimbar dengan jubahnya hitamnya dan berbicara dengan suara layaknya seorang yang bijaksana sambil memberitakan Firman Tuhan. Sosok seorang pendeta menjadi Publik Figur dalam jemaat yang dilayaninya. Setiap Ucapannya selalu dianggap benar oleh karena dia memiliki Predikat sebagai Hamba Tuhan. Jemaatpun sangat antusias untuk bisa berjabat tangan dengan seorang pendeta ketika selesai beribadah minggu di Gereja. Wah..!!! alangkah membanggakan jika saya bisa menjadi pendeta nantinya...(semoga):).. Tapi saya pun sempat bertanya-tanya dalam diri apakah dengan menjadi seorang pendeta lantas kita akan menjadi Pribadi yang sempurna?....
Karena Kasih Allah, saya boleh mempelajari Ilmu Teologi, Ilmu Pengetahuan yang dipelajari oleh kebanyakan orang yang ingin menjadi Pendeta, Saya bergaul dengan banyak teman yang datang dengan berbagai macam latar belakang, beragam tradisi, beragam karakter yang saya temui dan saya menyerap banyak pengalaman dari mereka. Motivasi untuk menjadi seorang Pendeta pun berbeda-beda, ada yang mengaku ingin menjadi pendeta karena hanya ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa ia bisa menjadi seorang pendeta, ada yang berkeinginan menjadi pendeta dengan alasan untuk menggantikan ayahnya yng juga pendeta (emeritus) dan ada yang bilang ingin menjadi pendeta supaya bisa dihargai dalam masyarakat karena latar belakang hidupnya yang menurut dia tidak dihargai dalam masyarakat. Motivasi-motivasi itu, membuat saya bertanya-tanya lagi apakah tujuan kita menjadi seorang pendeta hanya sebatas untuk membanggakan diri dan untuk memperbaiki status kehidupan kita di dalam masyarakat? Lalu bagaimana dengan Motivasi untuk menjadi pendeta karena benar-benar ingin melayani jemaat Tuhan?
Saya sangat berani mengatakan bahwa Mentalitas pendeta-pendeta sekarang ini tidak  lagi mentalitas melayani. Banyak pendeta yang menjadi terobsesi dengan Kekuasaan dan Kehormatan (Gila Kuasa dan Gila Hormat). Kenyataanya, banyak pendeta yang kemudian terjun di dunia Politik, ada pula yang terobsesi dengan kedudukan di Badan Perkerja Harian (BPH) Sinode,dsb.  Jika demikian yang terjadi, lantas  apa yang dipahami dari Ilmu Teologi yang dipelajari oleh seorang pendeta.  Apakah dengan mempelajari Ilmu Teologi kemudian spiritualitas kita pun menjadi menjadi tandus? Bukankan dengan Pengetahuan Teologi justru seharusnya menyuburkan Spiritualitas kita?
Kita harus mengakui bahwa telah terjadi pergeseran dalam memahami jabatan seorang pendeta yang seharusnya melayani Allah dan sesama. Pengetahuan Teologi yang cerdas, pengetahuan tentang Alkitab, dan keterampilan berkhotbah yang mengesankan merupakan kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh seorang pendeta dimana kompetensi ini  sangat menentukan eksistensi Kependetaan-nya.
Ketika dalam melayani (berkhotbah, berdoa, pendampingan pastoral) dan seorang pendeta tidak yakin bahwa apa yang dilakukannya memberi efek yang baik dalam kehidupan jemaat, itu menandakan bahwa sang pendeta sementara mengalami ketandusan Spiritual.
Yang dapat menolong seorang pendeta untuk menyuburkan kembali Spiritualnya yang gersang adalah dirinya sendiri. dan saya mengajukan satu kata YAKIN !!!! Yakin dengan apa yang didoakan dan dikhotbahkan dan Yakin bahwa proses pendampingan yang dilakukan mampu untuk memulihkan kehidupan Jemaat.

SEMOGA TULISAN INI MEMBERIKAN MANFAAT BAGI KITA DALAM MENJALANKAN TUGAS PELAYANAN KITA SEBAGAI ORANG-ORANG YANG TELAH DI SEBUT PENDETA ATAUPUN AKAN DI SEBUT PENDETA.
GBU ALL.......!!!

Originalitas Budaya Orang Ambon


Ide ini terbesit dalam pikiran saya ketika duduk bersama teman-teman di tempat kost, dan seorang teman yang berasal dari Nabire Papua dan dalam komunikasinya dengan kerabatnya di kampung dan dia menggunakan bahasa daerahnya yang jika kita dengar sangat minim huruf vokalnya hehehhehe... sedikit berkelakar tentang bahasa yang digunakan Mecky (nama teman saya yang adalah orang Nabire itu) saya kemudian melontarkan sebuah pertanyaan "Kenapa Orang (anak-anak daerah) Ambon tidak pernah menggunakan bahasa bahasa asli daerahnya. pertanyaan itu pun langsung di sambut oleh Pdt. Gerald Akerina, S.Si Teol tukasnya " itu karena dalam perjalanan sejarah orang ambon terlalu terpengaruh dengan budaya orang Belanda". Dan saya pun setuju dengan pendapatnya beberapa fakta yang saya temukan dalam penelusuran sejarah Maluku, nampak bahwa terjadi pembagian kelas dalam strata masyakatnya jika dilihat dari aspek Linguitas yaitu orang yang bisa berbahasa Belanda ditempatkan pada kelas pertama, sedangkan orang yang hanya bisa berbahasa "Ibu" justru ditempatkan pada posisi nomor dua atau ke sekianlah... saya melihat hal ini justru sebagai suatu kesalahan yang tidak disadari oleh orang Ambon sendiri {ironis ya??!! :( }. Orang BELANDA yang datang menjajah Indonesia kemudian lebih banyak menggunakan orang Pribumi di Maluku untuk menjadi Klereck/Soldadu (serdadu) dan otomatis mereka harus menguasai bahasa Belanda.
Diskriminasi yang di lakoni oleh orang Belanda terhadap mereka yang menggunakan bahasa Ibu justru telah mengikis perlahan-lahan jati diri orang ambon tidak hanya saja dari Aspek Linguitas tetapi juga dalam banyak seperti tarian dan cara hidup.
Saya berani mengatakan bahwa Originalitas/kemurnian Budaya Orang Ambon sangat di pertanyakan. Kita lihat Tarian Katreji dan Dansa Ola-ola misalnya, itu semua adalah tarian yang di adopsi dari tarian Eropa yang dibawa pada sebalum abad 17 dan orang Ambon sangat bangga untuk memperkenalkannya sebagai Tarian budaya orang Ambon. padahal originalitasnya jauh di bawah Tarian Bambu Gila, Cakalele, dan Tarian Sawat.
Pengaruh budaya orang Eropa yang sangat kental melekat pada orang Ambon dan itu terbawa-bawa hingga kehidupan sekarang dari Orang Ambon yang AMTENARISME (Sikap hidup yang Gengsi untuk melakukan Pekerjaan yang biasa di lakukan orang di bawah kastanya)
Menengok kembali Realitas kehidupan yang dijalani orang ambon berkaitang dengan Amtenarisme. kebanyakan yang berjualan ikan dan sayur di Pasar adalah orang yang berasal dari Jazirah Leihitu, yang justru lebih kental dalam penggunaan bahasa IBU Pulau Ambon dan sangat kental Budaya Pulau Ambonnya dari pada orang yang tinggal di Kota Ambon. Saya sangat Sepakat jika dalam penelusuran kembali Bahasa asli Pulau Ambon dimulai dari mereka (orang jazirah Leihitu) dan untuk melihat hal itu perlu sejenak melupakan pengaruh nuansa keagamaan dan mari kita lebih fokus pada nilai budayanya. disitulah kita akan menemukan Originalitas Budaya Orang Ambon. setelah kita menemukan Originalitas Budaya Orang Ambon, tugas selanjutnya adalah meneruskannya pada Generasi selanjutnya. dan kita bisa memulainya dengan pengajaran untuk menguasai bahasa asli.
Ketika kita bisa mengenal budaya kita, disitulah kita menemukan jati diri kita secara murni. Selanjutnya dengan kemurnian Originalitas budaya yang kita miliki, barulah kita boleh berbangga dengan Label sebagai Nona Ambon atau Nyong Ambon.

Tulisan Ini hanya sebatas Ide yang Penulis Tuangkan dalam Blog ini, tentunya sangat di harapkan ada pemikiran lain serta Literatur yang berkaitan dengan Ide ini, yang bisa di sarankan untuk pengembangan pemikiran ini. GBU.. :)

Kamis, 26 Januari 2012

Perempuan Papalele


“Deskripsi tentang sosok perempuan yang berjuang untuk menghidupi keluarganya”
Ervil Hitipeuw

Suara Kokokkan ayam jantan membangunkanku dari tidur yang tidak begitu pulas. tiga botol sopi (minuman khas Maluku) yang ku habiskan bersama teman sekompleks semalam, cukup membuat aku pusing. Jam di dinding kamarku menunjukkan pukul 5 pagi.  Aku harus memaksakan diri untuk bisa bangun pagi ini. karena aku telah membuat janji dengan tante Merry. Aku menuju ke kamar mandi untukl mencuci muka dan menggosok gigi. Kukenakan jacket dan helm dan brum...brum.. ku starter suzuki satria kesayanganku menuju ke rumah tante Merry. Beberapa menit kemudian aku sudah sampai di rumahnya tante merry. Perempuan separoh baya , berkulit hitam, berkacamata danberpakaian kebaya motif kotak-kotak itu ternyata sudah menungguku dari pukul setengah 5  tadi. “Maaf tante merry beta agak terlambat” ucapku kepada tante Merry, “oh iya seng apa-apa nyong, mari katong lanjut jua”. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju ke pantai Tawiri sebuah desa yang jaraknya 15 KM dari desa Poka yang adalah desa tempat saya tinggal. Ku pacu belalang tempurku dengan kecepatan 80. Tak sampai setengah jam perjalanan kami pun sampai di desa Tawiri. Suara buih ombak dan suara keramaian seperti di pasar terdengar di telingaku.
Ternyata sudah ada banyak orang yang berkumpul untuk menunggu kapal motor nelayan merapat ke pantai dan kemudian  melakukan transaksi mereka adalah para Pedagang “papalele” yang semuanya adalah kaum perempuan. Begitu motorku berhenti, tante Merry pun dengan segera menuju ke arah keramaian  itu. Aku hanya menunggu tante Merry di jalan dekat pantai. Kali ini dia begitu cepat mendapatkan jatah ikan untuk di jual hari ini.  Tak sampai setengah jam dia sudah berjalan ke arahku dengan loyang ikan di kepalanya. Perjalanan pun kami lanjutkan ke  Pasar mardika kota Ambon tempat dia harus menjajakan ikannya itu. Kali ini kami ditemani dengan aroma ikan segar yang di dapatkan oleh tante Merry di pantai tadi.
Akhirnya kami sampai juga di Pasar Mardika, dan aku pun pergi bargabung dengan teman-temanku di pangkalan ojek di pasar. Dari tempat aku parkir sembari mencari penumpang, aku melihat tante Merry yang membersihkan tempat jualannya. “Ikang..ikang..  mari ikang segar  ada cakalang,.. ada kawalinya.. “ suara tante Merry berteriak menawarkan ikannya kepada para pembeli. Suasana pasar begitu ramai. Perlahan-lahan panas matahari pagi mula terasa dikulitku. Sementara tante Merry tetap berteriak menjajakan jualnya, tak peduli terik matahari. Keringatnya mulai bercucuran di wajahnya sesekali dia menyeka keringat dengan lengan bajunya, terlihat pula raut wajah lelah bercampur kecewa menghitung lembaran uang di tangannya nampaknya tidak terlalu bagus pendapatannya hari ini. Beberapa pembeli mendekati tempat jualannya dan membeli ikannya. Tak jarang ada pembeli yang sengaja menawar harga ikannya dengan harga rendah. Tante Merry sesekali mengerutu karena sudah ditawar harganya tp tidak jadi membeli.  Hari itu ikan jualan tante Merry tidak terjual habis di pasar Mardika dia memanggil saya untuk mengantarkannnya ke daerah perumahan Nasional (Perumnas) yang terletak dekat desa kami. Di atas motor tercium jelas aroma badan tante meri yang merupakan campuran keringat dan bau amis ikan yang dia jual.. “hmm ini dia aroma parfum tahun 2011” umpatku dalam hati :). 
Dalam perjalanan dia bercerita kapadaku dengan intonasi seperti orang kecewa karena tidak laku jualannya hari ini. Dan aku pun mencoba menghiburnya dengan beberapa goyonan dan mengatakan pasti kalo di Perumnas nanti pasti ikannya laku karna disitu orang-orangya adalah pekerjaan kantoran yang seriungkali tak punya waktu untuk ke pasar. Criitt .. suara rem motor saya, yang berati kami telah sampai di gapura PERUMNAS “Dangke nyong su antar tante Merry” katanya kepadaku sembari menyodorkan uang Rp 20.000,- kepada saya,  agak berat mengambil uang itu darinya karena Niatku hanya menolong mengantrkan dia. tapi pas waktu itu jarum pengukur bahan bakar nyaris sampai di huruf (E) yang artinya hampir habis, jadi terpaksa ku terima uang itu untuk mengisi bensin motorku. Dia pun kembali berjalan menyusuri gang-gang dan lorong perumahan itu untuk menjual ikan –ikanya yang belum laku di Pasar tadi dan aku kambali ke pangkalan ojek untuk menunggu penumpang.
Tak peduli dengan terik panas matahari dia tetap berjalan dengan beban di atas kepalanya. Dan menawarkan Ikan jualannya kepada orang-orang dari gang ke gang. Itulah perjuangan tante Merry sang pelaku papalele dalam usaha menghidupi keluarganya, bersama sang suami yang berprofesi sebagai tukang  bangunan mereka membesarkan 3 orang anak perempuan yang sudah remaja. Walaupun berat namun ketegaran tante Merry tak pernah surut untuk memperjuangkan kehidupan keluarganya. _EJH_
*Papalele adalah pedagang kecil yang berjualan di pasar/sambil berjalan dari gang ke gang untuk berjualan. yang di jual adalah makanan tradisional, ikan menta, sayur, dll.