Pembangunan Jembatan Merah Putih kini menjadi polemik, pembangunan yang memakan dana dengan nilai nominal yang fantastis itu, dikatakan akan menjadi kunci bagi perbaikan ekonomi daerah, karena dengan keberadaan Jembatan Merah Putih (JMP) akan merangsang gairah investor untuk menanamkan modal usahanya di daerah kita ini. namun di lain pihak pembangunan JMP ini justru menjadi ancaman bagi para pendayung perahu tradisional yang menggantungkan hidup mereka pada mata pencaharian lewat profesi itu. Pembangunan JMP juga dikhwatirkan akan mematikan ekosistem laut di sekitar Teluk ambon Dalam tulisan kali ini penulis hendak mengangkat polemik ini untuk di paparka kepada kita sekalian supaya dapat di pikirkan juga menilai sacara kritis tentang kebijakan-kebijakan yang di ambil oleh pemerintah daerah kita saat ini khususnya tentang Proyek JMP ini.
Saya memulai membuka dengan memaparkan fakta-fakta di bawah ini :
Proyek JMP Menurut Kacamata Pemerintah!!!
Untuk memacu pertumbuhan ekonomi sebuah daerah maka sangatlah diperlukan infrastruktur yang memadai khususnya berupa sarana jalan dan jembatan. dengan sarana jalan yang memadai akan semakin menarik investor untuk menanamkan modal dan membuka jaringan bisnis mereka di daerah itu.
Kurang lebih 15 tahun Pemeritah kota Ambon bermimpi untuk mendirikan sebuah jembatan penghubung kawasan desa Galala dan Poka. Mimpi itupun terjawab pada tahun 2012 ini ketika mimpi itu mulai terbangun menjadi sebuah kenyataan, dimana proyek Prestisius itu telah dimulai, hal ini nampak ketika Pemerintah mulai membangun bentang tengah
Jembatan Merah Putih di Ambon. Proyek senilai Rp 416,76 miliar tersebut
digarap PT Waskita Karya, PT Pembangunan Perumahan (Persero), dan PT
Wijaya Karya (Persero). Jembatan ini akan menghubungkan Desa Galala,
Kecamatan Sirimau, dengan Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon.
“Menggunakan dana APBN dengan skema tahun jamak dari 2012 sampai
2014,” kata Direktur Jenderal Bina Marga, Djoko Murjanto, di Jakarta,
Jumat, 27 Juli 2012.Djoko menjelaskan anggaran tahun ini yang digunakan adalah Rp 50 miliar, anggaran tahun 2013 sebesar Rp 190 miliar, dan tahun 2014 Rp 185 miliar. Dia mengatakan pembangunan jembatan tersebut bertujuan untuk mengembangkan kawasan Galala-Teluk Ambon, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.
Jembatan Merah Putih ini sudah dicanangkan sejak 2011. Pembangunan proyek jembatan sepanjang 1,06 kilometer ini dibagi menjadi dua tahap. Pertama, pembangunan bentang pinggir atau jalan akses sepanjang 760 meter. Tahap ini membutuhkan biaya Rp 249,614 miliar, sudah dimulai sejak 2011 dan ditargetkan rampung pada 2013.
Tahap kedua, pembangunan bentang tengah, pemerintah merencanakan selesai pada Desember 2014. Alokasi anggaran proyek bentang tengah sepanjang 300 meter ini dibagi menjadi tiga tahap.
Jembatan yang nantinya ketika rampung akan mirip dengan jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) ini tentunya kelak akan menjadi Icon kebanggaan bagi "Maluku" dan di harapkan mampu mengangkat nama maluku dalam prestasi pertumbuhan ekonomi nasional maupun dunia.
Proyek JMP Menurut Kacamata Masyarakat!!!
Saya bergabung dengan sebuah group di Sosial Net Facebook dengan nama group "Penyeberangan Perahu Tradisional Poka-Galala" yang dikelola oleh salah seorang teman saya. dalam gruop ini di bahas mengenai dampak yang dirasakan secara langsung oleh para "tukang panggayo" (pendanyung) perahu tradisional ini. mereka khwatir dengan keberadaan mereka yang sudah menjalani profesi ini bertahun-tahun, bahkan secara turun-temurun. Bapa Lelemuku adalah seorang legendaris bagi masyarakat kota ambon yang sering menggunakan alat tranportasi tradisional ini, dimana hanya dengan mendayung perahu lelemukunya anak-anaknya sekarang telah menjadi orang-orang sukses. legenda bapak lelemuku juga menjadi bagian dari kehidupan para tukang panggayo perahu tersebut, karena dengan bermata pencaharian sebagai tukang panggayo perahu inilah mereka menghidupi keluarga mereka.
Perahu tradisional yang beroperasi di teluk Ambon setiap hari berjumlah 200 buah, dan menjadi favorit para mahasiswa Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon."Dengan menggunakan jasa perahu, mereka lebih cepat tiba di kampus dibandingkan menggunakan kapal penyeberangan feri," Perahu tradisional di teluk Ambon ini juga menjadi lapangan kerja bagi sebagian masyarakat Galala dan Poka sejak turun-temurun. Bahkan ada pejabat yang dulunya berprofesi sebagai pendayung perahu untuk membayar uang kuliah. Sekarang ini pula ada mahasiswa yang mendayung perahu untuk membayar uang kuliah. Jadi perahu tradisional sangat membantu ekonomi keluarga dan mahasiswa, opini para pemerhati alat transportasi perahu tradisional yang terpapar di beberapa situs internet, menyuarakan keadilan bagi para pendayung perahu tradisional juga te;ah mewakili suara hati masyarakat pesisir pantai Poka dan Galala yang berprofesi sebagai pendayung perahu tradisional.
untuk memperjuangkan nasib mereka maka pada awal Desember 2011 lalu Puluhan orang yang mencari nafkah sebagai pendayung perahu tradisional penyeberangan Galala, Poka dan Rumah Tiga bersama aliansi peduli pengemudi perahu tradisional Ambon melakukan aksi demo di kantor Gubernur Maluku. Mereka mendesak Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu menghentikan pekerjaan pembangunan jembatan Merah Putih yang akan menghubungkan Galala-Rumah Tiga, karena dinilai mematikan pendapatan pendayung perahu tradisional.
Alexander F. Belay, Ketua DPC PMKRI cabang Sanctus Fransiscus Xaverius,
dari aliansi peduli pengemudi perahu tradisional Ambon dalam orasi
demonstrasinya mengatakan berbagai dampak buruk dari pembangunan
jembatan Merah Putih adalah terpuruknya perekonomian masyarakat lokal
yang berada di sekitar lokasi jembatan Merah Putih khususnya pendayung
perahu tradisional yang selama ini mencari nafkah dengan cara mendayung
perahu penyebarangan Galala, Poka dan Rumah Tiga. Menurut Belay,
Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu yang bertanggung jawab terhadap
lebih dari 300 orang pendayung perahu tradisional Galala, Poka dan Rumah
Tiga yang terancam hilang pekerjaannya akibat dibangunnya jembatan
Merah Putih.
Analisis
menurut analisa saya, proyek ini tidak hanya menjadi proyek prestisius untuk perbaikan infrastruktur daerah, tetapi lebih kepada proyek pretisius menaikan gengsi pejabat pemerintah daerah sekaligus dijadikan sebagai media pencitraan untuk misi mereka pada tahap berikut jabatan mereka di tingkat Provinsi, dan sementara mereka sibu dengan karier politiknya, kebutuhan masyarakat kecil seperti mereka yang mendayung perahu tradisional untuk menghidupi keluarga tidaklah di perhatikan secara baik. Memang JMP akan menjadi sentral icon terbesar bagi Maluku tetap sekaligus menjadi Icon penderitaan bagi para pendayung perahu tradisional.
Menyimak janji pemerintah daerah yang mengungkapkan bahwa, pantai poka Rumah Tiga dan Galala akan di fungsikan sebagai daerah objek wisata pantai dan para pendayung perahu tradisional ini akan dibina untuk menjalani profesi mereka. hal ini menjadi tiupan angin surga bagi kami karena sebenarnya kami sangsi dengan janji itu, melihat fakta yang ada bahwa kondisi Teluk Ambon ini penuh dengan sampah, kemudian apakah ada yang tertarik berwisata di bawah jembatan itu?
Memang setiap kebijakan ada sisi negatif dan positifnya, harus ada yang di korbankan, tetapi apakah etis jika untuk proyek JMP yang perstisius ini harus mengorbankan masyarakat kecil? maka kembali di pertanyakan Nurani para pejabat pemerintah daerah kita.
hmmm!!! semoga ada solusi yang tepat dan cerdas untuk menangani polemik ini.
Tetap Semangat Perjuangkan Hak Masyarakat kecil yang dilindas kebijakan Pemerintah yang tak bernurani