Jumat, 27 Januari 2012

Originalitas Budaya Orang Ambon


Ide ini terbesit dalam pikiran saya ketika duduk bersama teman-teman di tempat kost, dan seorang teman yang berasal dari Nabire Papua dan dalam komunikasinya dengan kerabatnya di kampung dan dia menggunakan bahasa daerahnya yang jika kita dengar sangat minim huruf vokalnya hehehhehe... sedikit berkelakar tentang bahasa yang digunakan Mecky (nama teman saya yang adalah orang Nabire itu) saya kemudian melontarkan sebuah pertanyaan "Kenapa Orang (anak-anak daerah) Ambon tidak pernah menggunakan bahasa bahasa asli daerahnya. pertanyaan itu pun langsung di sambut oleh Pdt. Gerald Akerina, S.Si Teol tukasnya " itu karena dalam perjalanan sejarah orang ambon terlalu terpengaruh dengan budaya orang Belanda". Dan saya pun setuju dengan pendapatnya beberapa fakta yang saya temukan dalam penelusuran sejarah Maluku, nampak bahwa terjadi pembagian kelas dalam strata masyakatnya jika dilihat dari aspek Linguitas yaitu orang yang bisa berbahasa Belanda ditempatkan pada kelas pertama, sedangkan orang yang hanya bisa berbahasa "Ibu" justru ditempatkan pada posisi nomor dua atau ke sekianlah... saya melihat hal ini justru sebagai suatu kesalahan yang tidak disadari oleh orang Ambon sendiri {ironis ya??!! :( }. Orang BELANDA yang datang menjajah Indonesia kemudian lebih banyak menggunakan orang Pribumi di Maluku untuk menjadi Klereck/Soldadu (serdadu) dan otomatis mereka harus menguasai bahasa Belanda.
Diskriminasi yang di lakoni oleh orang Belanda terhadap mereka yang menggunakan bahasa Ibu justru telah mengikis perlahan-lahan jati diri orang ambon tidak hanya saja dari Aspek Linguitas tetapi juga dalam banyak seperti tarian dan cara hidup.
Saya berani mengatakan bahwa Originalitas/kemurnian Budaya Orang Ambon sangat di pertanyakan. Kita lihat Tarian Katreji dan Dansa Ola-ola misalnya, itu semua adalah tarian yang di adopsi dari tarian Eropa yang dibawa pada sebalum abad 17 dan orang Ambon sangat bangga untuk memperkenalkannya sebagai Tarian budaya orang Ambon. padahal originalitasnya jauh di bawah Tarian Bambu Gila, Cakalele, dan Tarian Sawat.
Pengaruh budaya orang Eropa yang sangat kental melekat pada orang Ambon dan itu terbawa-bawa hingga kehidupan sekarang dari Orang Ambon yang AMTENARISME (Sikap hidup yang Gengsi untuk melakukan Pekerjaan yang biasa di lakukan orang di bawah kastanya)
Menengok kembali Realitas kehidupan yang dijalani orang ambon berkaitang dengan Amtenarisme. kebanyakan yang berjualan ikan dan sayur di Pasar adalah orang yang berasal dari Jazirah Leihitu, yang justru lebih kental dalam penggunaan bahasa IBU Pulau Ambon dan sangat kental Budaya Pulau Ambonnya dari pada orang yang tinggal di Kota Ambon. Saya sangat Sepakat jika dalam penelusuran kembali Bahasa asli Pulau Ambon dimulai dari mereka (orang jazirah Leihitu) dan untuk melihat hal itu perlu sejenak melupakan pengaruh nuansa keagamaan dan mari kita lebih fokus pada nilai budayanya. disitulah kita akan menemukan Originalitas Budaya Orang Ambon. setelah kita menemukan Originalitas Budaya Orang Ambon, tugas selanjutnya adalah meneruskannya pada Generasi selanjutnya. dan kita bisa memulainya dengan pengajaran untuk menguasai bahasa asli.
Ketika kita bisa mengenal budaya kita, disitulah kita menemukan jati diri kita secara murni. Selanjutnya dengan kemurnian Originalitas budaya yang kita miliki, barulah kita boleh berbangga dengan Label sebagai Nona Ambon atau Nyong Ambon.

Tulisan Ini hanya sebatas Ide yang Penulis Tuangkan dalam Blog ini, tentunya sangat di harapkan ada pemikiran lain serta Literatur yang berkaitan dengan Ide ini, yang bisa di sarankan untuk pengembangan pemikiran ini. GBU.. :)

4 komentar:

  1. setiap manusia perlu paham akan jatidiri budayanya, sebelum menunjukan eksistensi kemanusiaannya.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Bung Ervil, fenomena yang anda paparkan terjadi hampir diseluruh daerah di Indonesia. Contohnya Melayu Pobtianak; saat ini budaya yang melekat di orang2 Pontianak tak lebih dari sekedar aksesori/pajangan tanpa pemahaman kearifan budaya lokal. Kalau toh ada ormas yang mengatas namakan budaya lokal maka itu tak lebih dari sekedar alat politik belaka.

    BalasHapus